Rabu, 27 Juni 2012

PEMBASISAN PANCASILA


PENDAHULUAN
1.   Reformasi sebagai bagian dari pendalaman dan percepatan proses globalisasi di Indonesia membawa serta masuknya nilai-nilai universal seperti demokratisasi dan hak asasi manusia yang kemudian menguasai opini public dalam atmosfir politik nasional. Wacana public tentang demokrasi dan hak asasi manusia menjadi menonjol dan menenggelamkan wacana tentang Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang mewarnai “dunia bunyi-bunyian” pada masa Orde Baru.
2.   Lenyapnya Pancasila dari “dunia bunyi-bunyian” sejak reformasi menimbulkan keprihatinan yang cukup dalam, baik dalam kalangan elite politik maupun masyarakat luas. Keprihatinan itu ditunjukkan melalui berbagai pernyaaan di media massa maupun kegiatan-kegiatan lainnya seperti seminar, symposium, dan sarasean mengenai Pancasila dan eksistensinya setela reformasi. Bahkan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) tetalh membentuk deputi khusus untuk menangani masalah “makin menipisnya kesadaran dan penghayatan akan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa”
3.   Pembasisan Pancasila adalah suatu upaya untuk memperkokoh eksistensi Pancasila melalui pemahaman masyarakat terhadap Pancasila serta implementasinya dalam menghadapi tantangan jaman sekarang ini.

GERAKAN PEMBASISAN PANCASILA
1.   Gerakan Pembasisan Pancasila yang dilaksanakan oleh Pergerakan Kebangsaan bertujuan untuk membangun kekuatan sosial untuk memperkokoh eksistensi Pancasila sebagai dasar Negara dan cita-cita moral bangsa Indonesia. Gerakan ini dilakukan berdasarkan adagium bahwa ketahanan ideologi suatu bangsa terletak pada kekuatan sosial yang mendukungnya.
2.   Melalui Gerakan Pembasisan Pancasila itu, Pergerakan Kebangsaan mengajakmasyarakat untuk memperkokoh konsesnsus nasional tentang Pancasila sebagai dasar Negara, memahami dan menghayati implementasi Pancasila di tengah-tengah arus globalisasi, serta menggunakan Pancasila sebagai “bintang penuntun” untuk memecahkan problematik yang dihadapi.
3.   Pergerakan Kebangsaan menyadari berbagai kendala yang dihadapi dalam melaksanakan Gerakan Pembasisan Pancasila ini. Kendala-kendala tersebut bersumber pada kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh lapisan bawah dan lapisan menengah-bawah masyarakat, ruang public yang hamapa ideologi dan dikuasai oleh pragmatisme politik orede reformasi, dan belum adanya parta yang tepat untuk mengelola gerakan ini.
4.   Pembasisan Pancasila yang dilakukan oleh Pergerakan Kebangsaan dikonsentrasikan pada masalah-masalah sebagai berikut:
-    Kilasan sejarah tentang penerimaan Pancasila sebagai konsensus dasar berdirinya Negara Republik Indonesia
   -     Pancasila sebagai dasar negara yang berfunsi untuk mengatur perilaku Negara
-    Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa: kedudukannya dalam sistem hukum Indonesia dan penggunaannya sebagai “bintang penuntun” dalam memecahkan problematik masyarakat.
   -    Implementasi Pancasila di tengah-tengah percepatan proses globalisasi dewasa ini.
5.   Pembasisan Pancasila bukanlah monopoli Pergerakan Kebangsaan. Karena itu Pergerakan Kebangsaan akan menjalin kerjasama yang konstruktif dengan semua pihak yang terdorong untuk melakukan pembasisan Pancasila. Kerjasama tersebut meliputi bukan saja kerja sama teknis, melainkan juga dialog dan proses pembelajaran bersama mengenai dalam rangka mengembangkan Pancasila sebagai ”ideologi terbuka”.

PANCASILA SEBAGAI KOSENSUS DASAR
1.   Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Sukarno menyampaiakan pidatonya di depan sidang Badan     Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang kemudian dikenal sebagai lahirnya Pancasila.
2.   Panitia 9 dan Piagam Jakarta, perjuangan untuk mencapai kompromi antara kemauan untuk mendirikan Negara Islama dan kemauan untuk mendirikan Negara Kebangsaan.
3.   Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
4.   Dalam rapat besar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 disetujui secara bulat bunyi Pembukaan UUD 1945 seperti yang sekarang. Perubahan penting yang disepakati adalah penghapusan tujuh kataa ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang ada dalam Piagam Jakarta. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah kategori baru yang mangatasi batasan-batasan berdasarkan agama tertentu.
5.   Dengan demikian founding fathers kita bersedia secara bulat untuk menerima Pancasila sebagai konsensus dasar berdirinya negara Republik Indonesia, dengan pertimbangan bahwa dasar negara harus dirumuskan sedemikian rupa bahwa tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan dapat menerimanya. Dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara, berarti tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan bersedia untuk tidak memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, tetapi sekaligus juga tidak perlu mengorbankan identitasnya masing-masing. Founding fathers kita telah meletakkan landasan yang kokoh bagi dibangunnya negara modern yang terdiri dari sekian banyak suku, golongan, agama, dan kebudayaan.
6.   Sebagai bansa kita mempunyai kewajiban untuk memantapkan dan memantapkan kembali konsensus dasar ini untuk memelihara persatuan bangsa dan menghindari ketegangan yang tidak perlu dalam perjuangan untuk mengisi kemerdekaan.

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
1.   Pancasila adalah dasar Negara (“philosofische grondslag”, “Staatsfundamentalnorm”, “Pokok Kaidah Fundamentil Negara”), dan sebagai dasar Negara, Pancasila mengatur perilaku Negara, yang terwujud dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan (konstitusi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan seterusnya) yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila serta terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak para penyelenggara kekuasaan negara. Dilihat dari kacamata sistem norma hukum negara Republik Indonesia, norma-norma dasar Pancasila membentuk norma-norma hukum di bawahnya secara berjenjang, di mana norma hukum yang di bawah terbentuk berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi.
2.   Dalam system norma hukum, kita mengenal adanya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Di Negara Republik Indonesia, hukum tertulis dari hari ke hari terus mendesak peranan hukum tidak tertulis. Dengan makin besarnya hukum tertulis telah menyebabkan peranan penyelenggara kekuasaan Negara dalam pembentukan hukum menjadi sangat penting. Karena itu pemahaman dan penghayatan penyelenggara kekuasaan Negara terhadap dasar Negara Pancasila juga sangat penting, karena mereka itulah yang menentukan pembentukan hukum tertulis.
3.   Dalam membasiskan Pancasila sangat perlu untuk terus menerus memberikan penekanan pada kedudukan Pancasila sebagai dasar negara yang harus mengatur perilaku negara. Penekanan ini perlu dilakukan untuk menghindari penafsiran Pancasila sebagai ajaran tentang “keutamaan individual” seperti dalam kasus P-4 yang lalu. Dalam pembasisan juga harus ditepis pandangan yang menyatakan bahwa seolah-olah masyarakat Pancasila baru bisa diwujudkan kalau setiap hidung warga negara sudah mengerti Pancasila dan mengamalkannya sebagai preskripsi moral individu. Yang benar adalah: masyarakat Pancasila akan terwujud apabila pengoperasian norma dasar Pancasila melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan negara memang benar-benar mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
4.   Kita pernah keliru melihat seolah-olah Pancasila sudah sangat kuat dengan makin banyaknya warga negara yang mengikuti Penataran P-4 (pada tahun 1990 sekitar 72 juta orang atau sekitar 74% penduduk usia dewasa telah terjangkau oleh proses pemasyarakatan Pancasila, terutama melalui penataran-penataran P-4 dengan berbagai type dan polanya) dan semua organisasi politik sudah memasang Pancasila sebagai satu-satunya asas. Dicantumkannya Pancasila di mana-mana dan disebutnya Pancasila dalam setiap Pidato sama sekali tidak menjamin telah dilaksanakannya Pancasila dengan benar. Bahkan sangat mungkin terjadi bahwa semuanya itu hanya dipakai sebagai tirai asap untuk menutup-nutupi kegagalan negara dalam melaksanakan Pancasila itu sendiri. (Sebagai contoh, GBHN mempertegas pernyataan ”pembangunan sebagai pengamalan Pancasila”, tetapi dalam realitas gini ratio juga makin tinggi yang mengindikasikan makin dijauhinya prinsip Keadilan Sosial)
5.   Di atas sudah dikatakan bahwa masyarakat Pancasila akan terwujud apabila pengoperasian norma dasar Pancasila melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan negara, memang benar-benar mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Oleh karena itu, kontrol sosial terhadap jalannya penyelenggaraan kekuasaan Negara harus dipertajam, dengan ‘melawan’ monopoli para politisi, pejabat Negara, dan birokrat untuk menentukan begitu saja apa yang baik bagi masyarakat. Dengan pemahaman rakyat yang baik atas Pancasila dan kedudukanya sebagai dasar Negara, akan menjadikan Pancasila sebagai ideologi kritis di tangannya. Atau dengan kata lain, pemahaman yang baik atas Pancasila akan memungkinkan rakyat menggunaka Pancasila sebagai ideologi kritis untuk memeriksa apakah prioritas, praktek, dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan Negara sudah sesuai dengannya.

PANCASILA SEBAGAI CITA-CITA MORAL BANGSA
1.   Staatsfundamentalorm mempunyai akar langsung pada kehendak sejarah suatu bangsa, dasar yang membentuk Negara tersebut, sebagai konsensus atau keputusan politik yang diambil oleh para pendiri Negara. Mengapa founding fathers Negara Republik Indonesia dengan sepakat bulat menerima Pancasila sebagai konsensus dasar berdirinya Negara ? Kalau kita ikuti “suasana kebatinan” yang terungkap dalam siding-sidang BPUPKI dan PPKI nampak jelas bahwa founding fathers kita berupaya dengan semangat yang gigih untuk menetapkan dasar Negara yang dirumuskan sedemikian rupa hingga tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan dapat menerimanya. Dengan menerima Pancasila sebagai dasar Negara, berarti tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan bersedia untuk tidak memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, tetapi sekaligus juga tidak perlu mengorbankan identitasnya masing-masing. Pancasila diterima sebagai dasar Negara karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencerminkan cita-cita moral bersama sebagai bangsa.
2.   Timbal persoalan: apakah perbedaan dan bagaimana hubungan antara Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pancasila sebagai Cita-cita Moral Bangsa ? Pancasila sebagai dasar Negara (Staatsfundamentalnorm), yang berasal dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan norma tertinggi dalam hirarki system norma hukum Negara Republik Indonesia. Pancasila merupakan norma dasar (Grundnorm) yang menciptakan semua norma-norma yang lebih rendah dalam system norma hukum. Sebagai dasar Negara, Pancasila seharusnya juga menentukan berlaku atau tidaknya norma-norma itu. Sedangkan sebagai cita-cita moral bangsa, Pancasila berada di luar system norma hukum, yang berfungsi konstitutif dan regulative terhadap norma-norma yang ada dalam system norma hukum. [Posisi Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa ini dapat kita temukan dalam Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu mewujudkan (merupakan perwujudan dari) Rechtsidee (cita-cita hukum) yang menguasai hukum dasar Negara, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis]
3.   Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa memiliki fungsi konstitutif yang menentukan dasar dibentuknya  suatu peraturan perundang-undangan; dan memiliki fungsi regulatif yang menentukan apakah peraturan perundang-undangan yang dibentuk itu merupakan peraturan yang adil atau tidak adil. Terhadap tata hukum yang berlaku dapat ditanyakan apakah preskripsi moral yang terdapat dalam Pancasila mempunyai fungsi konstitutif yang menentukan apakah tata hukum Indonesia merupakan tata hukum yang benar; dan disamping itu juga memiliki fungsi regulative yang menentukan apakah hukum positif yang berlaku di Indonesia merupakan hukum yang adil.
4.   “Cita-cita moral bangsa” adalah konstruksi pikiran suatu bangsa yang berisi preskripsi moral bagi bangsa tersebut untuk tercapainya cita-cita yang diinginkan bersama. Dengan demikian, Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa berfungsi sebagai “bintang penuntun” (Leitsteren) untuk tercapainya cita-cita masyarakat. Meskipun Leitstern itu merupakan titik akhir yang sangat jauh dan tidak mungkin dicapai, tetapi Leitstern itu sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk menguji dan melakukan kontrol atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menjadi pedoman dalam mengambil keputusan-keputusan praktis atas problematik yang dihadapi.

   Dahulu Kesaktian Pancasila begitu diyakini dan diterapkan menjadi pola hidup masyarakat Indonesia. Nasionalisme terbangun sangat kuat hingga muncul gerakan radikal nasionalisasi aset-aset asing yang dianggap strategis bagi negara.
    Pancasila yang awalnya telah mengakar secara perlahan-lahan mulai tercabut, dan akan tumbang pada saatnya nanti, seiring dengan masifnya invasi budaya-budaya barat yang mulai dijadikan gaya hidup masyarakat khususnya kaum muda di Indonesia. Pancasila sudah dianggap suatu hal yang kuno, konservatif, kaku, tidak gaul dan statis. Pola pikir ini yang dengan sengaja dibuat oleh kelompok-kelompok barat agar dapat menyingkirkan kehadiran Pancasila dari setiap insan kaum muda Indonesia, sehingga dengan mudah mereka menguasai dan menancapkan bibit-bibit ideologi Kapitalisme.
    Kaum muda saat ini sudah mulai terasuki oleh pola hidup hedonis, diskotek, dugem, pesta pora dan bersenang-senang sudah menjadi pilihan hidup dan gaya hidup kaum muda di Indonesia. Bahkan jika anak muda tidak dugem dikatakan “gak gaul”, kampungan, ndeso, dll.
    Tanpa disadari, mereka telah terjerat masuk dalam perangkap popular culture yang membawa pada kehancuran moral dan ideologi dirinya sendiri. Perangkap yang akan membunuh generasi muda Indonesia itu dibuat senikmat mungkin agar membuat sasaran dapat terlena dan dengan sukarela masuk dalam perangkap yang sangat mematikan.
     Harus diakui semua itu disebabkan karena metode penanaman nilai-nilai Pancasila yang terlalu kaku, konservatif dan pasif hingga dengan mudah tergilas seiring dengan perkembangan jaman. Pemerintah pun akhir-akhir ini masih tetap menggunakan metode-metode konservatif sehingga penanaman nilai-nilai pancasila dianggap gagal, terlihat dari kebijakan-kebijakan, produk undang-undang yang tidak memasukan nilai-nilai Pancasila, sehingga menjadi suatu kebijakian/produk hukum yang tidak pancasilais.
     Karena itu, harus ada terobosan baru agar pancasila bisa kembali diterima, tertanam dan berakar khususnya dalam diri kaum muda. Maka mau tidak mau, suka tidak suka modernisasi metode penanaman nilai-nilai Pancasila harus segera dilakukan, untuk melepaskan kaum muda dari jerat popular culture yang telah dibangun oleh blok barat.
Kelompok-kelompok masyarakat Indonesia saat ini terbagi menjadi 4 (empat) kelompok :
1.  Kelompok Aktivis adalah kelompok masyarakat yang masih memiliki ideologis dan     kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara.
2.  Kelompok Hedonis adalah kelompok masyarakat yang hanya memikirkan hidup bersenang-senang, dunia gempita.
3.  Kelompok Oportunis adalah kelompok masyarakat yang hanya mau ikut memikirkan negara jika ada sesuatu yang dapat menguntungkan dirinya. Tidak peduli apakah tujuannya tercapai atau tidak.
4.  Kelompok Pragmatis adalah kelompok masyarakat yang hanya memikirkan peningkatan taraf hidupnya sendiri dengan bekerja (mencari nafkah) dan sama sekali tidak mau memikirkan nasib bangsa dan negara.
5.  Kelompok Apatis adalah kelompok masyarakat yang sama sekali tidak memikirkan nasib kelangsungan hidupnya apalagi nasib kelangsungan hidup bangsa dan negaranya. Baginya, hanya pasrah kepada nasib, menjalani hidupnya mengalir seperti air.
Jika kita melihat pengelompokan dari kelompok masyarakat diatas berarti kita melihat adanya kebutuhan yang berbeda mengenai metode penerapan nilai-nilai Pancasila kepada masing-masing kelompok masyarakat, baik terhadap kelompok aktivis, kelompok hedonis, kelompok oportunis, kelompok pragmatis dan kelompok apatis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar