PENDAHULUAN
1. Reformasi sebagai bagian dari pendalaman dan percepatan
proses globalisasi di Indonesia membawa serta masuknya nilai-nilai universal
seperti demokratisasi dan hak asasi manusia yang kemudian
menguasai opini public dalam atmosfir politik nasional. Wacana public tentang demokrasi
dan hak asasi manusia menjadi menonjol dan menenggelamkan wacana tentang
Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang mewarnai “dunia
bunyi-bunyian” pada masa Orde Baru.
2. Lenyapnya Pancasila dari “dunia bunyi-bunyian” sejak
reformasi menimbulkan keprihatinan yang cukup dalam, baik dalam kalangan elite
politik maupun masyarakat luas. Keprihatinan itu ditunjukkan melalui berbagai
pernyaaan di media massa maupun kegiatan-kegiatan lainnya seperti seminar,
symposium, dan sarasean mengenai Pancasila dan eksistensinya setela reformasi.
Bahkan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) tetalh membentuk deputi khusus
untuk menangani masalah “makin menipisnya kesadaran dan penghayatan akan
pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa”
3. Pembasisan Pancasila adalah suatu upaya untuk memperkokoh
eksistensi Pancasila melalui pemahaman masyarakat terhadap Pancasila serta
implementasinya dalam menghadapi tantangan jaman sekarang ini.
GERAKAN PEMBASISAN PANCASILA
1. Gerakan Pembasisan Pancasila yang dilaksanakan oleh
Pergerakan Kebangsaan bertujuan untuk membangun kekuatan sosial untuk
memperkokoh eksistensi Pancasila sebagai dasar Negara dan cita-cita moral
bangsa Indonesia. Gerakan ini dilakukan berdasarkan adagium bahwa ketahanan
ideologi suatu bangsa terletak pada kekuatan sosial yang mendukungnya.
2. Melalui Gerakan Pembasisan Pancasila itu, Pergerakan
Kebangsaan mengajakmasyarakat untuk memperkokoh konsesnsus nasional tentang
Pancasila sebagai dasar Negara, memahami dan menghayati implementasi Pancasila
di tengah-tengah arus globalisasi, serta menggunakan Pancasila sebagai “bintang
penuntun” untuk memecahkan problematik yang dihadapi.
3. Pergerakan Kebangsaan menyadari berbagai kendala yang
dihadapi dalam melaksanakan Gerakan Pembasisan Pancasila ini. Kendala-kendala
tersebut bersumber pada kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh lapisan bawah dan
lapisan menengah-bawah masyarakat, ruang public yang hamapa ideologi dan
dikuasai oleh pragmatisme politik orede reformasi, dan belum adanya parta yang
tepat untuk mengelola gerakan ini.
4. Pembasisan Pancasila yang dilakukan oleh Pergerakan
Kebangsaan dikonsentrasikan pada masalah-masalah sebagai berikut:
- Kilasan sejarah tentang penerimaan Pancasila sebagai konsensus dasar
berdirinya Negara Republik Indonesia
- Pancasila sebagai dasar
negara yang berfunsi untuk mengatur perilaku Negara
- Pancasila sebagai
cita-cita moral bangsa: kedudukannya dalam sistem hukum Indonesia dan
penggunaannya sebagai “bintang penuntun” dalam memecahkan problematik
masyarakat.
- Implementasi Pancasila di
tengah-tengah percepatan proses globalisasi dewasa ini.
5. Pembasisan Pancasila bukanlah monopoli
Pergerakan Kebangsaan. Karena itu Pergerakan Kebangsaan akan menjalin kerjasama
yang konstruktif dengan semua pihak yang terdorong untuk melakukan pembasisan
Pancasila. Kerjasama tersebut meliputi bukan saja kerja sama teknis, melainkan
juga dialog dan proses pembelajaran bersama mengenai dalam rangka mengembangkan
Pancasila sebagai ”ideologi terbuka”.
PANCASILA SEBAGAI KOSENSUS DASAR
1. Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir.
Sukarno menyampaiakan pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), yang kemudian dikenal sebagai lahirnya Pancasila.
2. Panitia 9 dan Piagam Jakarta,
perjuangan untuk mencapai kompromi antara kemauan untuk mendirikan Negara
Islama dan kemauan untuk mendirikan Negara Kebangsaan.
3. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945.
4. Dalam rapat besar Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 disetujui secara bulat
bunyi Pembukaan UUD 1945 seperti yang sekarang. Perubahan penting yang
disepakati adalah penghapusan tujuh kataa ”dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang ada dalam Piagam Jakarta. Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah kategori baru yang mangatasi batasan-batasan berdasarkan agama
tertentu.
5. Dengan demikian founding fathers
kita bersedia secara bulat untuk menerima Pancasila sebagai konsensus dasar
berdirinya negara Republik Indonesia, dengan pertimbangan bahwa dasar negara
harus dirumuskan sedemikian rupa bahwa tiap-tiap suku, golongan, agama, dan
kebudayaan dapat menerimanya. Dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara,
berarti tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan bersedia untuk tidak
memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, tetapi sekaligus juga tidak perlu
mengorbankan identitasnya masing-masing. Founding fathers kita telah meletakkan
landasan yang kokoh bagi dibangunnya negara modern yang terdiri dari sekian
banyak suku, golongan, agama, dan kebudayaan.
6. Sebagai bansa kita mempunyai
kewajiban untuk memantapkan dan memantapkan kembali konsensus dasar ini untuk
memelihara persatuan bangsa dan menghindari ketegangan yang tidak perlu dalam
perjuangan untuk mengisi kemerdekaan.
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
1. Pancasila adalah dasar Negara (“philosofische
grondslag”, “Staatsfundamentalnorm”, “Pokok Kaidah Fundamentil Negara”),
dan sebagai dasar Negara, Pancasila mengatur perilaku Negara, yang terwujud
dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan (konstitusi,
undang-undang, peraturan pemerintah, dan seterusnya) yang sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila serta terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak
para penyelenggara kekuasaan negara. Dilihat dari kacamata sistem norma hukum
negara Republik Indonesia, norma-norma dasar Pancasila membentuk norma-norma
hukum di bawahnya secara berjenjang, di mana norma hukum yang di bawah
terbentuk berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi.
2. Dalam system norma hukum, kita
mengenal adanya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Di Negara Republik
Indonesia, hukum tertulis dari hari ke hari terus mendesak peranan hukum tidak
tertulis. Dengan makin besarnya hukum tertulis telah menyebabkan peranan
penyelenggara kekuasaan Negara dalam pembentukan hukum menjadi sangat penting.
Karena itu pemahaman dan penghayatan penyelenggara kekuasaan Negara terhadap
dasar Negara Pancasila juga sangat penting, karena mereka itulah yang
menentukan pembentukan hukum tertulis.
3. Dalam membasiskan Pancasila sangat
perlu untuk terus menerus memberikan penekanan pada kedudukan Pancasila sebagai
dasar negara yang harus mengatur perilaku negara. Penekanan ini perlu dilakukan
untuk menghindari penafsiran Pancasila sebagai ajaran tentang “keutamaan
individual” seperti dalam kasus P-4 yang lalu. Dalam pembasisan juga harus
ditepis pandangan yang menyatakan bahwa seolah-olah masyarakat Pancasila baru
bisa diwujudkan kalau setiap hidung warga negara sudah mengerti Pancasila dan
mengamalkannya sebagai preskripsi moral individu. Yang benar adalah: masyarakat
Pancasila akan terwujud apabila pengoperasian norma dasar Pancasila melalui
pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang terungkap dalam
praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan negara memang
benar-benar mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
4. Kita pernah keliru melihat
seolah-olah Pancasila sudah sangat kuat dengan makin banyaknya warga negara
yang mengikuti Penataran P-4 (pada tahun 1990 sekitar 72 juta orang atau
sekitar 74% penduduk usia dewasa telah terjangkau oleh proses pemasyarakatan
Pancasila, terutama melalui penataran-penataran P-4 dengan berbagai type dan
polanya) dan semua organisasi politik sudah memasang Pancasila sebagai
satu-satunya asas. Dicantumkannya Pancasila di mana-mana dan disebutnya
Pancasila dalam setiap Pidato sama sekali tidak menjamin telah dilaksanakannya
Pancasila dengan benar. Bahkan sangat mungkin terjadi bahwa semuanya itu hanya
dipakai sebagai tirai asap untuk menutup-nutupi kegagalan negara dalam
melaksanakan Pancasila itu sendiri. (Sebagai contoh, GBHN mempertegas
pernyataan ”pembangunan sebagai pengamalan Pancasila”, tetapi dalam realitas gini
ratio juga makin tinggi yang mengindikasikan makin dijauhinya prinsip
Keadilan Sosial)
5. Di atas sudah dikatakan bahwa
masyarakat Pancasila akan terwujud apabila pengoperasian norma dasar Pancasila
melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang terungkap
dalam praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan negara, memang
benar-benar mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Oleh
karena itu, kontrol sosial terhadap jalannya penyelenggaraan kekuasaan
Negara harus dipertajam, dengan ‘melawan’ monopoli para politisi, pejabat
Negara, dan birokrat untuk menentukan begitu saja apa yang baik bagi
masyarakat. Dengan pemahaman rakyat yang baik atas Pancasila dan kedudukanya
sebagai dasar Negara, akan menjadikan Pancasila sebagai ideologi kritis
di tangannya. Atau dengan kata lain, pemahaman yang baik atas Pancasila akan
memungkinkan rakyat menggunaka Pancasila sebagai ideologi kritis untuk
memeriksa apakah prioritas, praktek, dan kebiasaan bertindak penyelenggara
kekuasaan Negara sudah sesuai dengannya.
PANCASILA SEBAGAI CITA-CITA MORAL
BANGSA
1. Staatsfundamentalorm
mempunyai akar langsung pada kehendak sejarah suatu bangsa, dasar yang
membentuk Negara tersebut, sebagai konsensus atau keputusan politik yang
diambil oleh para pendiri Negara. Mengapa founding fathers Negara
Republik Indonesia dengan sepakat bulat menerima Pancasila sebagai konsensus
dasar berdirinya Negara ? Kalau kita ikuti “suasana kebatinan” yang terungkap
dalam siding-sidang BPUPKI dan PPKI nampak jelas bahwa founding fathers
kita berupaya dengan semangat yang gigih untuk menetapkan dasar Negara yang
dirumuskan sedemikian rupa hingga tiap-tiap suku, golongan, agama, dan
kebudayaan dapat menerimanya. Dengan menerima Pancasila sebagai dasar Negara,
berarti tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan bersedia untuk tidak
memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, tetapi sekaligus juga tidak perlu
mengorbankan identitasnya masing-masing. Pancasila diterima sebagai dasar
Negara karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencerminkan cita-cita
moral bersama sebagai bangsa.
2. Timbal persoalan: apakah perbedaan dan bagaimana
hubungan antara Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pancasila sebagai
Cita-cita Moral Bangsa ? Pancasila sebagai dasar Negara (Staatsfundamentalnorm),
yang berasal dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945,
merupakan norma tertinggi dalam hirarki system norma hukum Negara Republik
Indonesia. Pancasila merupakan norma dasar (Grundnorm)
yang menciptakan semua norma-norma yang lebih rendah dalam system norma hukum.
Sebagai dasar Negara, Pancasila seharusnya juga menentukan berlaku atau
tidaknya norma-norma itu. Sedangkan sebagai cita-cita moral bangsa, Pancasila
berada di luar system norma hukum, yang berfungsi konstitutif dan regulative
terhadap norma-norma yang ada dalam system norma hukum. [Posisi Pancasila sebagai
cita-cita moral bangsa ini dapat kita temukan dalam Penjelasan UUD 1945 yang
menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945
itu mewujudkan (merupakan perwujudan dari) Rechtsidee (cita-cita hukum)
yang menguasai hukum dasar Negara, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang
tidak tertulis]
3. Pancasila sebagai cita-cita moral
bangsa memiliki fungsi konstitutif yang menentukan dasar
dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan; dan memiliki fungsi regulatif
yang menentukan apakah peraturan perundang-undangan yang dibentuk itu
merupakan peraturan yang adil atau tidak adil. Terhadap tata hukum yang berlaku
dapat ditanyakan apakah preskripsi moral yang terdapat dalam Pancasila
mempunyai fungsi konstitutif yang menentukan apakah tata hukum Indonesia
merupakan tata hukum yang benar; dan disamping itu juga memiliki fungsi
regulative yang menentukan apakah hukum positif yang berlaku di Indonesia
merupakan hukum yang adil.
4. “Cita-cita moral bangsa” adalah konstruksi pikiran
suatu bangsa yang berisi preskripsi moral bagi bangsa tersebut untuk
tercapainya cita-cita yang diinginkan bersama. Dengan demikian, Pancasila sebagai cita-cita moral
bangsa berfungsi sebagai “bintang penuntun” (Leitsteren) untuk
tercapainya cita-cita masyarakat. Meskipun Leitstern itu merupakan titik
akhir yang sangat jauh dan tidak mungkin dicapai, tetapi Leitstern itu
sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk menguji dan melakukan kontrol atas
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menjadi pedoman dalam mengambil
keputusan-keputusan praktis atas problematik yang dihadapi.
Dahulu Kesaktian Pancasila begitu diyakini
dan diterapkan menjadi pola hidup masyarakat Indonesia. Nasionalisme terbangun
sangat kuat hingga muncul gerakan radikal nasionalisasi aset-aset asing yang
dianggap strategis bagi negara.
Pancasila yang awalnya telah mengakar
secara perlahan-lahan mulai tercabut, dan akan tumbang pada saatnya nanti,
seiring dengan masifnya invasi budaya-budaya barat yang mulai dijadikan gaya
hidup masyarakat khususnya kaum muda di Indonesia. Pancasila sudah dianggap
suatu hal yang kuno, konservatif, kaku, tidak gaul dan statis. Pola pikir ini
yang dengan sengaja dibuat oleh kelompok-kelompok barat agar dapat
menyingkirkan kehadiran Pancasila dari setiap insan kaum muda Indonesia,
sehingga dengan mudah mereka menguasai dan menancapkan bibit-bibit ideologi
Kapitalisme.
Kaum muda saat ini sudah mulai terasuki
oleh pola hidup hedonis, diskotek, dugem, pesta pora dan bersenang-senang sudah
menjadi pilihan hidup dan gaya hidup kaum muda di Indonesia. Bahkan jika anak
muda tidak dugem dikatakan “gak gaul”, kampungan, ndeso, dll.
Tanpa disadari, mereka telah terjerat masuk
dalam perangkap popular culture yang membawa pada kehancuran moral dan ideologi
dirinya sendiri. Perangkap yang akan membunuh generasi muda Indonesia itu
dibuat senikmat mungkin agar membuat sasaran dapat terlena dan dengan sukarela
masuk dalam perangkap yang sangat mematikan.
Harus diakui semua itu disebabkan karena metode
penanaman nilai-nilai Pancasila yang terlalu kaku, konservatif dan pasif hingga
dengan mudah tergilas seiring dengan perkembangan jaman. Pemerintah pun
akhir-akhir ini masih tetap menggunakan metode-metode konservatif sehingga
penanaman nilai-nilai pancasila dianggap gagal, terlihat dari
kebijakan-kebijakan, produk undang-undang yang tidak memasukan nilai-nilai
Pancasila, sehingga menjadi suatu kebijakian/produk hukum yang tidak
pancasilais.
Karena itu, harus ada terobosan baru agar
pancasila bisa kembali diterima, tertanam dan berakar khususnya dalam diri kaum
muda. Maka mau tidak mau, suka tidak suka modernisasi metode penanaman
nilai-nilai Pancasila harus segera dilakukan, untuk melepaskan kaum muda dari
jerat popular culture yang telah dibangun oleh blok barat.
Kelompok-kelompok
masyarakat Indonesia saat ini terbagi menjadi 4 (empat) kelompok :
1.
Kelompok Aktivis adalah kelompok masyarakat yang masih memiliki ideologis
dan kepedulian terhadap nasib bangsa
dan negara.
2.
Kelompok Hedonis adalah kelompok masyarakat yang hanya memikirkan hidup
bersenang-senang, dunia gempita.
3.
Kelompok Oportunis adalah kelompok masyarakat yang hanya mau ikut
memikirkan negara jika ada sesuatu yang dapat menguntungkan dirinya. Tidak
peduli apakah tujuannya tercapai atau tidak.
4.
Kelompok Pragmatis adalah kelompok masyarakat yang hanya memikirkan
peningkatan taraf hidupnya sendiri dengan bekerja (mencari nafkah) dan sama
sekali tidak mau memikirkan nasib bangsa dan negara.
5.
Kelompok Apatis adalah kelompok masyarakat yang sama sekali tidak
memikirkan nasib kelangsungan hidupnya apalagi nasib kelangsungan hidup bangsa
dan negaranya. Baginya, hanya pasrah kepada nasib, menjalani hidupnya mengalir
seperti air.
Jika kita
melihat pengelompokan dari kelompok masyarakat diatas berarti kita melihat
adanya kebutuhan yang berbeda mengenai metode penerapan nilai-nilai Pancasila
kepada masing-masing kelompok masyarakat, baik terhadap kelompok aktivis,
kelompok hedonis, kelompok oportunis, kelompok pragmatis dan kelompok apatis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar